Senin, 16 Maret 2009

Jack Windrey - Part 1

"Middleburg the City of Hope", itulah papan yang tertulis dengan terlalu jelas (dan mengangu) di depan mataku. Biarpun aku adalah pria sabar yang berusia 15 tahun tapi tetap saja tak bisa mentoleri keberadaan papan nama itu, (Terlalu semena-mena) kata hatiku yang terdalam. Hanya saja setidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak setelah menyeruput secangkir teh hijau hangat.
...

"Tok-Tok", terdengar bunyi ketukan nada F di pintu kamar losmen yang baru kusewa 198 menit lalu. "Terlalu populer, Terlalu tenar, bahkan tidur pun tak tenang. Siapa paparazi ini?", sambil mengumam begitu aku menuju pintu mencari tahu apa maunya si pengetuk tak dikenal namun pandai mengetuk.
"Kriettttt......." (begitulah bunyi pintu yang sulit dibuka), bersamaan dengan dibukanya sang papan kayu tersebut keluarlah suara manis bernada sophran nan unik (khas gadis-gadis france yang sering meminum orange peco), "Pagi, Mr. Oscar Wildey Kland. Sekarang sudah jam 7 pagi, sesuai permintaan anda. Kami membangunkan anda.", sambil mengusapkan mata aku berusaha melihat gadis yang amat mirip dengan Katy Perry dan ternyata malah lebih cantik dari Katy Perry yang gemar berpakaian pin-up. (Ah! Dipagi buta, Diawal cerita langsung bertemu gadis cantik, sungguh apakah ini akan menjadi kisah cinta saudara-saudara)
Tanpa banyak basa-basi aku mengatakan, "Trims, Ms. Knocker. Bisakah sekalian anda membawakan sarapan saya? Omelet jamur dengan taburan sosis kering dengan sedikit mentega amsterdam dipadu saus kentang. Minumnya cukup coklat hangat ditabur choco chip."
"Maaf pak, disini hanya menyediakan roti panggang dan teh hangat untuk sarapan. Dan nama saya Julia Hamlet, panggil saja Katy" (Sungguh nama yang manis dan indah)
"Ah, itu pun cukup, Katy. Asal ada senyum manismu.", begitu balasku sambil menatap matanya yang biru metalik, sangat indah sekali.
Tersipu malu, ia menjawab, "Baiklah akan saya ambilkan. Tunggulah barang sejenak."
(Seribu tahun pun akan kutunggu)

Sambil menunggu aku membaca beberapa buku yang kubawa secara tak sengaja dalam perjalananku. 'Willing to Dance - Guide to be Millioner, Karya Adam Afro' sungguh buku yang amat aneh, dalam bukunya yang tebal dan tertulis best seller (entah atas dasar apa), dia hanya memotivasi para pembaca secara bodoh tanpa cara-cara yang jelas dan perinci. Semua yang dia tulis pernah kudengar tapi yang special, buku ini mengimani hasrat untuk kaya. (mungkin itu juga yang membuat buku tolol ini jadi best seller). Karena tak menarik kututup buku itu, dan perhatianku teralih pada burung jenis retriver yang sedang mencicit dijendela losmenku.
"Burung brengsek, kau pasti sedang menertawakan diriku. Jangan menghina wahai burung tak tahu diri. Hanya karena dikarunia sayap kau bisa pergi ke tempat mana pun tanpa banyak waktu terbuang. Tapi ingatlah burung bodoh, suatu hari nanti kami umat manusia akan melampaui kesombonganmu dengan mesin teleport yang sedang dikerjakan oleh Dr. Imanuel Hartz. Bersiaplah pada masa terburukmu." (entah kenapa aku berbicara dengan burung tolol yang tetap saja mencicit seperti binatang yang tak mengerti bahasa manusia yang berkelas seperti diriku ini. (dan tampan tentunya))
"Tok-Tok" bunyi ketukan kali ini bukan bernada F, tapi bernada A. Mengapa tak bernada F, seperti tadi. Apakah sang pengantar berbeda? Apakah sedang terjadi kasus pembunuhan berantai dan saat ini sang pembunuh berada di depan pintu untuk mengambil segala milikku? Tapi tidak akan pernah kuserahkan kemurnian hatiku. Dengan takut-takut, kubuka juga pintu kamar losmen ini.
Wangi roti panggang dan teh hangat masuk menyelimuti kamar losmen ini. Tapi yang mengantar bukanlah Katy. Tapi kakek tua yang berumur 26 tahunan lewat 4 bulan, sungguh kontras, dia bahkan tidak cantik, tidak jelita, suaranya pun tidak merdu. Tidak ada tanda-tanda dia keturunan prancis ataupun pernah tinggal di sana. -hampa-

Dengan hati yang sakit, aku memakan sarapan yang hambar ini. Bagiku ini adalah penghinaan, bagaimana tidak. Keinginanku untuk bertemu kembali dengan Katy adalah mutlak dan tak terbantahkan. Usai sudah kisah cinta ini, bila ada waktu lagi. Aku ingin kisah cinta kita diingat dalam sejarah manusia, bisa dikategorikan sebagai cinta tragedi, mirip kisah Titanic, hanya saja kami dipisahkan bukan oleh Es batu, tapi oleh sarapan. Begitulah, aku meninggalkan losmen saat mentari belum terlalu panas untuk membakar jaket kulit hitamku.
Dalam perjalanan, tiba-tiba ponselku, Lexus W789, sebuah ponsel yang memiliki kelebihan dalam kamera. Berbunyi. Aku mengangkatnya, bersuaralah dia. "Mr. Anderson! Bagaimana kabar anda hari ini?"
(astaga, teman sd-ku yang sejak 20 tahun lalu, dan masih terus kontak hingga sekarang. namanya adalah Ronald Purara, tingginya 173cm, hobi bermain game, tapi bodoh, sehingga tampaknya maksud telepon paginya adalah meminta saranku untuk acara kehidupannya hari ini.)
Balasku, "Tentu saja baik, bagaimana kabarmu?"
"Ahahaha!!! Sudah kuduga, sekarang kau sedang dimana? Kudengar kabar bahwa kau terdampar ke kota sebelah. Akibat terlalu mabuk dalam pesta barbar semalam. Apa perlu kujemput? Sekarang posisimu dimana?"
(Sok tahu sekali dia, apa dia pikir aku pasti mau di jemput oleh dia? Memangnya aku tak mandiri. Umurku sudah 15 tahun, itu sudah lebih dari cukup untuk mengelilingi dunia seorang diri.)
"Tentu, sekarang aku sedang didepan Caesar Palace - Diamond Street", balasku dengan riang.
(...eh, apa yang terjadi? mengapa aku menyetujui penghinaan temanku itu dengan menjemputku. Siapa yang mengendalikan diriku yang sebenarnya? Jangan berkata karena alkohol setengah galon bisa membuatku tak sadar, seribu galon pun tak mengapa bagi kesadaranku. Majulah minuman keras!!!)

Orang irlandia terkenal karena citarasanya, rasanya itu adalah statement menarik tapi terkesal lugu. Sebab tak hanya orang irlandia yang bisa mengerti rasa. Anak kecil diperkampungan afrika pun bisa mengerti citarasa apabila setiap hari menyantap makanan berkelas. Ah, sayangnya. Hal ini tidak berlaku bagiku yang tetap saja menyantap match meal - santapan murah meriah dengan rasa tak berkelas. Ah, tapi kelas itu hanya tentang pikiran sajakan. Intinya tetap saja sama, harga. "Huahahaha...!!!!"
Perutku tergelitik oleh pemikiranku yang cerdas tapi bersahaja ini, sambil menatap patung Eliza, the Eater. Patung perempuan yang menderita obesitas tapi tetap makan, tangan kanan sedang menyedok sup bayam sementara tangan kirinya memegang paha ayam dengan daging terurai. Sungguh patung yang rakus..

Jumat, 06 Maret 2009

At the Heart of All Matter

Dulu pernah ada yang berkata padaku, bahwa aku seperti dijaga oleh 3 dewi. Athena, Muse, dan Minerva. Athena membuat keberuntungan selalu berpihak padaku. Aku sejujurnya tidak peduli dengan perumpaman tersebut. Tapi memang tak bisa disangkal keberuntungan selalu bersama diriku. Tak pernah lari kemanapun, bagai bayangan yang mengikuti pemiliknya, begitu juga keberuntungan mengikuti diriku.
SeeV bagiku adalah teman terbaikku, bukan mengapa. Karena ia adalah orang yang merubah cara pandangku. Dihadapan orang seperti dia, aku merasa amat rendah dan tak memiliki kemampuan, tapi itulah yang memberiku kelebihan dan kemampuan baru.

Aku masih ingat perkataan dia, "Baik dan Jujur adalah keharusan. Menolong orang lain adalah tanggung jawab kita sebagai sesama manusia. Mencintai semua mahkluk adalah hal yang tersulit."

Man, mendengar perkatanya dan melihat tingkahnya aku merasa menjadi manusia yang picik. Ah, andai tak pernah bertemu dengannya, aku akan terus hidup dengan cara bersenang-senang yang egois.
Orang lain terkadang mengatakan aku pelit, karena aku berusaha menghemat biaya yang tak perlu, terus mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk kedua orang tuaku. Sebab saat ini hanya cara itu yang kuketahui. Semoga kedepan, aku bisa melakukan lebih banyak hal.

Yah, untuk saat ini aku hanya bisa menulis sedikit. Karena akhir-akhir ini aku amat sibuk. Huahahaha....

 

Hit Counters
Amazing Counters